Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan posisi2 yang tidak mungkin
diisi oleh Dhomir Muttashil (Kata ganti yang bersambung).
Pada
pembahasan berikut akan dijelaskan pengecualian dari posisi2 yg tidak mugkin diisi oleh Dhomir Muttashil (kata ganti yang bersambung), yaitu:
1. Jika ‘Amil Dhomir (kata yang mempengaruhi Dhomir) tersebut sebenarnya mempengaruhi Dhomir lain yang lebih tinggi derajat Ma’rifat-nya yang Dhomir tersebut posisinya terletak lebih dahulu dan tidak dalam keadaan Marfu’.
Jika terjadi yang demikian, maka secara umum, Dhomir yang terletak pada posisi kedua boleh dibaca secara Muttashil (bersambung) ataupun Munfashil (terputus).
Contoh: firman Allah: فَسَيَكْفِيْكَهُمُ اللهُ (Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka).
Jika kita perhatikan, kata فَسَيَكْفِيْكَهُمُ mengandung 2 Dhomir yaitu Dhomir كَ dan هُمْ yang bila diperhatikan lebih lanjut, ternyata Dhomir كَ di sini lebih tinggi derajat Ma’rifat-nya dari Dhomir هُمْ karena arti Dhomir كَ adalah “kamu” yang maksudnya adalah Rasulullah SAW, sedangkan Dhomir هُمْ artinya adalah “mereka” yang meskipun menunjuk kepada kaum kafir, akan tetapi tidak tertentu siapa mereka ini. Dengan demikian Dhomir كَ memang terbukti lebih Ma’rifat dibanding dengan Dhomir هُمْ.
Dan bila diperhatikan pula, ternyata Dhomir كَ ini berada di depan Dhomir هُمْ sehingga terpenuhilah syarat-syarat pengecualian yang sudah dijelaskan di atas. Oleh karena itu, Dhomir هُمْ yang terletak pada posisi kedua boleh dibaca هُمْ yang Muttashil atau bisa juga dibaca إِيَّاهُمْ yang Munfashil.
Penjelasan.
Dalam masalah ini perlu diperhatikan pula ‘Amil Dhomir yang mempengaruhi Dhomir-Dhomir tersebut, apakah termasuk Fi’il biasa ataukah termasuk Fi’il Nasikh (yaitu Fi’il yang punya pengaruh tertentu pada kata-kata sesudahnya, seperti كَانَ dan yang sejenisnya) ataukah termasuk Isim seperti Mashdar (Kata Dasar) dan derivasinya. Oleh karena itu perlu dijelaskan 3 kondisi ‘Amil Dhomir ini.
2. Jika ternyata ‘Amil Dhomir adalah Fi’il biasa, maka penggunaan Dhomir Muttashil adalah lebih tepat dan lebih kuat dibanding penggunaan Dhomir Munfashil meskipun kedua-duanya diperbolehkan.
Contoh: سَلْنِيْهِ (Tanyailah aku tentang dia).
Pada contoh di atas, yang menjadi ‘Amil Dhomir adalah sebuah Fi’il biasa yaitu: سَلْ (Tanyailah), sedangkan dua Dhomir yang terkena pengaruh adalah Dhomir نِيْ (Aku) yang lebih Ma’rifat sekaligus lebih dulu disebutkan dan Dhomir ـهِ (Dia) yang terletak di akhir, dan kedua Dhomir ini berada pada posisi Manshub, sehingga terpenuhilah syarat-syarat pengecualian ini.
Dikarenakan yang menjadi ‘Amil Dhomir adalah sebuah Fi’il biasa, maka contoh di atas lebih tepat dan lebih kuat bila dibaca سَلْنِيْهِ dengan menggunakan Dhomir Muttashil yaitu ـهِ , meskipun boleh juga dibaca سَلْنِيْ إِيّاهُ dengan menggunakan Dhomir Munfashil.
3. Jika ternyata ‘Amil Dhomir adalah Fi’il Nasikh, maka menurut Jumhur atau kebanyakan ahli Nahwu, penggunaan Dhomir Munfashil adalah lebih tepat dan lebih kuat dibanding penggunaan Dhomir Muttashil meskipun kedua-duanya diperbolehkan.
Namun ada juga beberapa ahli Nahwu yang lebih memilih menggunakan Dhomir Muttashil dan menganggapnya lebih tepat dan lebih kuat daripada Dhomir Munfashil. Di antara ahli Nahwu yang berpendapat demikian adalah Ibnu Malik yang mengarang bait-bait Alfiyah, juga Ar-Rummany dan Ibnu Thorowah.
Contoh: حَسِبْتُكَ إِيَّاهُ (Aku kira engkau adalah dia).
Pada contoh di atas, yang menjadi ‘Amil Dhomir adalah sebuah Fi’il Nasikh yaitu: حَسِبَ (Menyangka) yang termasuk dari Fi’il-fi’il yang membutuhkan 2 Maf’ul bih (objek penderita), sedangkan dua Dhomir yang terkena pengaruh atau menjadi objek penderita dari Fi’il ini adalah Dhomir كَ (Engkau) yang lebih Ma’rifat sekaligus lebih dulu disebutkan dan Dhomir إِيَّاهُ (Dia) yang terletak di akhir, yang kedua Dhomir ini berada pada posisi Manshub karena menjadi Maf’ul bih.
Dikarenakan yang menjadi ‘Amil Dhomir adalah sebuah Fi’il Nasikh, maka menurut Jumhur ahli Nahwu, contoh di atas lebih tepat dan lebih kuat bila dibaca حَسِبْتُكَ إِيَّاهُ dengan menggunakan Dhomir Munfashil yaitu إِيَّاهُ , meskipun boleh juga dibaca حَسِبْتُكَهُ dengan menggunakan Dhomir Muttashil.
Sedangkan menurut Ibnu Malik, Ar-Rummany dan Ibnu Thorowah, maka حَسِبْتُكَهُ lebih tepat daripada
حَسِبْتُكَ إِيَّاهُ.
4. Jika ternyata ‘Amil Dhomir adalah Isim, maka yang paling Rojih atau
yang paling kuat dan tepat adalah menggunakan Dhomir Munfashil, meskipun
pada dasarnya, baik Munfashil ataupun Muttashil adalah diperbolehkan.
Contoh: عَجِبْتُ مِنْ حُبِّيْ إِيَّاهُ (Saya takjub dengan cintaku padanya).
Pada contoh di atas, yang menjadi ‘Amil Dhomir adalah sebuah Isim yaitu: حُبٌّ (Cinta), sedangkan dua Dhomir yang terkena pengaruh adalah Dhomir يْ (Aku) yang lebih Ma’rifat sekaligus lebih dulu disebutkan dan Dhomir إِيَّاهُ (Dia) yang terletak di akhir.
Dhomir yang pertama dalam keadaan Majrur karena Idhafah atau penyandaran kata حُبٌّ kepada Dhomir يْ (Aku) yang merupakan salah satu syarat dari pengecualian ini, sedangkan Dhomir kedua berada pada posisi Manshub karena menjadi objek penderita atau Maf’ul bih dari Isim yang sejatinya adalah sebuah Mashdar.
Dikarenakan yang menjadi ‘Amil Dhomir adalah sebuah Isim, maka contoh di atas lebih tepat bila dibaca: عَجِبْتُ مِنْ حُبِّيْ إِيَّاهُ dengan menggunakan Dhomir Munfashil yaitu إِيَّاهُ , meskipun boleh juga dibaca عَجِبْتُ مِنْ حُبِّيْهِ dengan menggunakan Dhomir Muttashil meskipun terdengar janggal di telinga.
Tambahan.
Jika syarat-syarat pengecualian ini tidak terpenuhi, maka 2 bacaan yang diperbolehkan dalam pengecualian ini tidak berlaku lagi. Berikut penjelasannya.
5. Jika Dhomir pertama yang terkait dengan masalah ini ternyata dalam posisi Marfu’ maka Dhomir kedua wajib dibaca dalam bentuk Muttashil.
Contoh: ضَرَبْتُهُ (Aku memukulnya).
Pada contoh di atas ada 2 Dhomir, yaitu تُ (Aku) dan ـهُ (Dia), di mana Dhomir تُ lebih Ma’rifat dan disebutkan lebih dahulu daripada Dhomir ـهُ , akan tetapi Dhomir تُ ini dalam kondisi Marfu’ sehingga tidak memenuhi satu syarat pengecualian ini yaitu harus dalam keadaan selain Marfu’.
Sebagai hasilnya, Dhomir kedua pada contoh di atas harus dibaca Muttashil yaitu: ضَرَبْتُهُ dan tidak bisa dibaca dengan ضَرَبْتُ إِيَّاهُ yang Munfashil.
6. Jika Dhomir kedua yang terkait dengan masalah ini ternyata lebih Ma’rifat dari Dhomir sebelumnya, maka Dhomir kedua wajib dibaca dalam bentuk Munfashil.
Contoh: أَعْطَاهُ إِيَّاكَ (Ia telah memberikannya kepadamu).
Pada contoh di atas ada 2 Dhomir, yaitu هُ (Dia) dan إِيَّاكَ (Engkau), di mana Dhomir هُ memiliki tingkat Ma’rifat lebih rendah daripada Dhomir إِيَّاكَ meskipun Dhomir هُ ini dalam kondisi Manshub dan disebutkan lebih dahulu.
Dengan demikian tidak terpenuhilah satu syarat pengecualian ini yaitu: bahwa Dhomir pertama harus lebih Ma’rifat dari Dhomir sesudahnya.
Sebagai hasilnya, Dhomir kedua pada contoh di atas harus dibaca Munfashil yaitu: أَعْطَاهُ إِيَّاكَ dan tidak bisa dibaca dengan أَعْطَاهُكَ yang Muttashil.
7. Jika 2 Dhomir yang terkait dengan masalah ini ternyata tingkat Ma’rifat-nya sama, maka Dhomir kedua wajib dibaca dalam bentuk Munfashil. Hal ini berlaku selama kedua Dhomir ini bukanlah Dhomir Ghaib (Kata ganti untuk orang ke-3) yang berbeda bentuknya, seperti apabila salah satunya tunggal dan yang lain jamak.
Contoh: مَلَّكْتُكَ إِيَّاكَ (Aku kuasakan dirimu kepada dirimu sendiri).
Pada contoh di atas ada 2 Dhomir, yaitu كَ (Engkau) dan إِيَّاكَ (Engkau) yang kedua-duanya sama bila dilihat dari segi Ma’rifat, sehingga tidak terpenuhilah satu syarat pengecualian ini yaitu: bahwa Dhomir pertama harus lebih Ma’rifat dari Dhomir sesudahnya, ditambah lagi fakta bahwa kedua Dhomir ini bukanlah Dhomir Ghaib yang berbeda bentuk.
Sebagai hasilnya, Dhomir kedua pada contoh di atas harus dibaca Munfashil yaitu: مَلَّكْتُكَ إِيَّاكَ dan tidak bisa dibaca dengan مَلَّكْتُكَكَ yang Muttashil.
Apabila kedua Dhomir ini ternyata termasuk Dhomir Ghaib yang memiliki bentuk berbeda, maka Dhomir kedua diperbolehkan dibca dalam bentuk Muttashil.
Contoh: لِوَجْهِكَ فيِ الإِحْسِانِ بَسْطٌ وَبَهْجَةٌ أَنَالَهُمَاهُ قَفْوُ أَكرَمِ وَالِدِ
(Senyum ceria dan keelokan rupa menghiasi wajahmu ketika engkau berbuat baik, yang keduanya dianugerahkan oleh pengikut ayah paling mulia).
Pada contoh di atas, ada Fi’il أَناَلَهُماَهُ yang mengandung 2 Dhomir, yaitu هُماَ (Mereka berdua) dan هُ (Dia) yang kedua-duanya sama bila dilihat dari segi Ma’rifat karena sama-sama Dhomir Ghaib, sehingga tidak terpenuhilah satu syarat pengecualian ini yaitu: bahwa Dhomir pertama harus lebih Ma’rifat dari Dhomir sesudahnya. Namun karena keduanya adalah Dhomir Ghaib yang tidak sama bentuknya, sebab yang pertama adalah untuk Mutsanna yang menunjuk kepada dua benda, sementara yang lainnya menunjuk kepada kata tunggal.
Sebagai hasilnya, Dhomir kedua pada contoh di atas diperbolehkan dibaca dalam bentuk Muttashil yaitu: أَنَالَهُمَاهُ ataupun dalam bentuk Munfashil yaitu: أَنَالَهُمَا إِيَّاهُ.
8. Jika Dhomir yang dimaksud berada pada posisi Manshub disebabkan oleh كَانَ atau salah satu dari jenisnya.
Jika terjadi yang demikian, maka secara umum Dhomir tersebut boleh dibaca secara Muttashil (bersambung) ataupun Munfashil (terputus). Namun manakah yang paling Rajih? Apakah Muttashil ataukah Munfashil?
Dalam hal ini, seperti masalah sebelumnya, Jumhur ahli Nahwu lebih mendahulukan Dhomir Munfashil daripada Dhomir Muttashil. Sedangkan di fihak lain yaitu: Ibnu Malik, Ar-Rummany dan Ibnu Thorowah lebih mendahulukan Dhomir Muttashil daripada Dhomir Munfashil.
Contoh:
إِنْ يَكُنْهُ فَلَنْ تُسَلِّطَ عَلَيْهِ (Jika memang ia –Ibnu Shoyyad-
adalah ia –Dajjal- maka engkau tidak akan menguasai dia)
Pada contoh
di atas terdapat Fi’il يَكُنْ yang merupakan derivasi atau turunan dari
كاَنَ yang mempengaruhi Mubtada’ (pokok kalimat) dan Khabar (yang
menjelaskan Mubtada’) yang lebih lanjut disebut Isim Kaana dan Khabar
Kaana.
Pada contoh di atas, Isim Kaana-nya adalah sebuah Dhomir
Mustatir (Dhomir tersembunyi) yang dikandung Fi’il كَانَ yaitu: هُوَ
(Dia) sedangkan Khabar Kaana-nya adalah sebuah Dhomir Baariz (Dhomir
yang tampak) yaitu: ـهُ (Dia). Dan karena Dhomir ini berada pada posisi
Manshub karena terpengaruh oleh كَانَ, maka boleh dibaca dengan
menggunakan Dhomir Muttashil yaitu: يَكُنْهُ atau menggunakan Dhomir
Munfashil yaitu: يَكُنْ إِيَّاهُ .
Seperti disebutkan di atas,
penggunaan Dhomir Munfashil lebih kuat dan lebih tepat menurut Jumhur
ahli Nahwu, meskipun kelompok Ibnu Malik lebih memilih Dhomir Muttashil.